[WASHINGTON]
Upaya memproduksi berbagai produk ramah lingkungan harus menjadi gerakan
nasional. Para pelaku bisnis di Indonesia tidak perlu ragu mengimplementasikan green
industry karena manfaat ekonominya
akan sangat besar.
Sedangkan masyarakat diharapkan mengubah pola hidup boros energi dan mulai menggunakan produk ramah lingkungan kendati lebih mahal.
"Produk ramah lingkungan akan lebih mudah menembus pasar ekspor. Kita akan mendapatkan banyak manfaat jika kita lebih awal go green," kata Pembina Yayasan Matsushita Gobel Rachmat Gobel pada acara diskusi bertopik “Cara Indonesia dalam Menyikapi Perubahan Iklim” yang digelar Center for Strategic and International Studies (CSIS) di Washington DC, Amerika Serikat (AS), Selasa (22/10).
Wartawan SP Primus Dorimulu melaporkan dari Washington DC, selain pembicara utama, Pembina Yayasan Matsushita Rachmat Gobel, acara yang dipandu Senior Advisor & Director CSIS Ernest Z Bower itu menghadirkan tiga jurnalis senior dari Indonesia, yakni Pemimpin Redaksi (Pemred) Tempo Wahyu Muryadi, Pemred Kompas Rikard Bagun, dan Pemred ANTV Uni Lubis.
Pemanasan global dan perubahan iklim, kata Ernst Z Bower, merupakan tantangan paling besar dunia saat ini.
Pemerintah dan para pebisnis harus bekerja sama mengatasi ancaman ini lewat berbagai upaya, termasuk inovasi produk. Ahli Asia Tenggara dari CSIS itu memuji komitmen Rachmat Gobel yang sudah berani memproduksi produk ramah lingkungan meski belum ada insentif dari pemerintah.
Ia juga memberikan apresiasi kepada Presiden Susilo Bambang Yudhoyono (SBY) yang selalu berada di barisan terdepan dalam memperjuangkan kelestarian lingkungan lewat komitmen dan langkah nyata menurunkan emisi karbon.
Presiden SBY, kata Rachmat Gobel, sudah berjanji menurunkan emisi karbon 26% pada 2020. Pemerintah berkomitmen mengurangi emisi gas rumah kaca (GRK) sebesar 26% dari tingkat business-as-usual pada 2020 lewat upaya sendiri dan 41% dengan bantuan luar.
Selama 2000-2010, sekitar 3,5 juta hektare hutan musnah. Tapi, saat ini, Indonesia semakin ketat mencegah kerusakan hutan.
Pada 2010, Indonesia juga menandatangani naskah perjanjian untuk menurunkan emisi karbon lewat program Reducing its Emissions from Deforestation and Forest Degradation (REDD+).
Program REDD+ adalah mekanisme global untuk memperlambat perubahan iklim dengan memberikan kompensasi kepada negara berkembang guna melindungi hutannya.
Selain itu, pada Mei 2011 pemerintah mengumumkan moratorium pembabatan baru perkebunan sawit. Kebijakan itu digariskan dalam Instruksi Presiden (Inpres) No 10 Tahun 2011 tentang Penundaan Pemberian Izin Baru (Moratorium) dan Penyempurnaan Tata Kelola Hutan Primer dan Lahan Gambut. Pada saat yang sama, pemerintah mengumumkan penanaman pohon. Hasilnya, dalam dua tahun terakhir ditanam 3,2 miliar pohon.
Kepala Negara juga memperkenalkan tagline pembangunan yang pro-growth, pro-job, pro-poor, and pro-environment.
Di sela Konferensi Tingkat Tinggi (KTT) Rio+20 di Brasil, belum lama ini, Presiden SBY juga mengusung isu pembangunan berkelanjutan disertai pemerataan (sustainable growth with equity) berlandaskan konsep ekonomi hijau atau ekonomi ramah lingkungan (green economy).
Kebijakan pemerintah yang secara prinsip sudah mengacu pada konsep Ekonomi Hijau antara lain pembatasan ekspor bahan tambang, green building di sektor properti, pembatasan emisi gas buang kendaraan bermotor, rencana tata ruang dan rencana tata wilayah (RTRW) ramah lingkungan, serta regulasi hutan tanaman industri (HTI) dan hak pengusahaan hutan (HPH) berbasis pelestarian hutan.
Peluang Bagi Pebisnis
Kendati belum ada insentif dari pemerintah, kata Rachmat Gobel, pihaknya terus mengembangkan produk ramah lingkungan sesuai visi Panasonic. Panasonic berkeyakinan, produk ramah lingkungan takkan bisa dielakkan pada masa mendatang.
Tuntutan terhadap kelestarian lingkungan semakin keras. Produk industri yang tidak ramah lingkungan akan ditinggalkan konsumen.
Pengalaman Panasonic menunjukkan bahwa pengembangan produk ramah lingkungan justru meningkatkan inovasi dan produktivitas perusahaan. Dari sisi konsumen, produk ramah lingkungan merupakan gaya hidup sehat.
"Manfaat inilah yang hendak kami tularkan kepada masyarakat," kata Rachmat Gobel, preskom PT Panasonic Gobel Indonesia yang juga ketua Masyarakat Energi Terbarukan Indonesia (METI).
Pada tahap awal, produk ramah lingkungan meningkatkan biaya produksi dan mahal bagi konsumen. Kondisi itu patut diperlakukan sebagai peluang oleh kalangan pebisnis. Perusahaan justru ditantang untuk mengubah ancaman menjadi peluang.
“Kalangan pebisnis tidak boleh diam, melainkan harus merespons dengan serius isu ini agar produknya diterima di pasar global," papar Rachmat.
Insentif pemerintah bagi perusahaan yang tengah melakukan penelitian dan inovasi adalah praktik yang lazim. Berbagai negara melakukan hal serupa. Tapi, untuk Indonesia, negeri dengan perangkat hukum yang tidak lengkap dan tumpang tindih, reformasi hukum harus dilakukan terlebih dahulu.
Itu sebabnya, demikian Rachmat, Yayasan Matsushita Gobel bekerja sama dengan Harvard Law School melakukan riset di bidang reformasi hukum, khususnya yang berkaitan dengan kelestarian lingkungan, pemanasan global, perubahan iklim, dan produk ramah lingkungan.
Setelah perangkat hukum beres, insentif yang diberikan pemerintah menjadi lebih jelas. Insentif yang diberikan pemerintah pun menjadi terarah, tidak merugikan negara.
"Kalau belum apa-apa sudah minta insentif, bisa jadi pengusaha nantinya dinilai hanya mencari fasilitas," ujar Rachmat.
Para pelaku bisnis, kata Rachmat Gobel, hendaknya tidak mendirikan perusahaan hanya untuk mengejar profit dan lapangan kerja semata. Para pelaku usaha harus memiliki visi besar, yakni membangun Indonesia dengan memproduksi berbagai produk berkualitas dan ramah lingkungan.
Sedangkan pemerintah diimbau lebih tegas terhadap produk impor ilegal tidak bermutu yang saat ini membanjiri pasar domestik. Semua produk dalam negeri maupun impor harus memenuhi standar nasional Indonesia (SNI).
Masyarakat Indonesia perlu diberikan pemahaman untuk tidak mengonsumsi produk hanya dengan pertimbangan harga semata. Produk murah dan tidak bermutu mendorong pola hidup boros dan pola konsum yang merusak lingkungan.
"Salah satu langkah konkret yang bisa segera dimulai oleh masyarakat adalah membuang sampah pada tempatnya, yakni pada kotak sampah organik, anorganik, serta kotak botol dan plastik," papar Rachmat.
Belum Jadi Gerakan
Walau kelestarian lingkungan sudah menjadi komitmen pemerintah serta isu pemanasan global (global warming) dan perubahan iklim (climate change) selalu dilontarkan Presiden, masyarakat belum melihat isu-isu itu sebagai sesuatu yang penting bagi mereka. Pemred Tempo Wahyu Muryadi melihat kondisi itu sebagai dampak dari minimnya sosialisasi.
Wahyu menilai kondisi itu sebagai dampak minimnya pemberitaan media massa. Paling tidak, isu lingkungan hampir tidak pernah menjadi berita utama Tempo.
"Isu lingkungan dan climate change bukan isu seksi. Isu ini kalah dibanding isu korupsi dan infotainment," ujar Wahyu.
Media massa, kata Pemred Kompas Rikard Bagun, perlu memberikan porsi memadai bagi berita dan opini tentang global warming dan climate change. Pihaknya sudah memberikan porsi yang cukup bagi isu lingkungan sejak dekade 1980-an.
Keterlibaan media massa sangat penting agar isu climate change tidak digunakan negara kompetitor bisnis untuk menghantam produk Indonesia.
Serangan terhadap sawit sebagai tanaman yang merusak lingkungan terjadi karena minimnya pemberitaan media nasional yang menjelaskan tentang sawit. "Isu buruk tentang sawit adalah isu persaingan bisnis," kata Rikard.
Uni Lubis menyoroti kelemahan para menteri Kabinet Indonesia Bersatu (KIB) II yang kurang gigih menyosialisasikan global warming dan climate change. Pemred ANTV ini menilai target pengurangan emisi hingga 26% pada 2020 terlalu ambisius.
Sedangkan masyarakat diharapkan mengubah pola hidup boros energi dan mulai menggunakan produk ramah lingkungan kendati lebih mahal.
"Produk ramah lingkungan akan lebih mudah menembus pasar ekspor. Kita akan mendapatkan banyak manfaat jika kita lebih awal go green," kata Pembina Yayasan Matsushita Gobel Rachmat Gobel pada acara diskusi bertopik “Cara Indonesia dalam Menyikapi Perubahan Iklim” yang digelar Center for Strategic and International Studies (CSIS) di Washington DC, Amerika Serikat (AS), Selasa (22/10).
Wartawan SP Primus Dorimulu melaporkan dari Washington DC, selain pembicara utama, Pembina Yayasan Matsushita Rachmat Gobel, acara yang dipandu Senior Advisor & Director CSIS Ernest Z Bower itu menghadirkan tiga jurnalis senior dari Indonesia, yakni Pemimpin Redaksi (Pemred) Tempo Wahyu Muryadi, Pemred Kompas Rikard Bagun, dan Pemred ANTV Uni Lubis.
Pemanasan global dan perubahan iklim, kata Ernst Z Bower, merupakan tantangan paling besar dunia saat ini.
Pemerintah dan para pebisnis harus bekerja sama mengatasi ancaman ini lewat berbagai upaya, termasuk inovasi produk. Ahli Asia Tenggara dari CSIS itu memuji komitmen Rachmat Gobel yang sudah berani memproduksi produk ramah lingkungan meski belum ada insentif dari pemerintah.
Ia juga memberikan apresiasi kepada Presiden Susilo Bambang Yudhoyono (SBY) yang selalu berada di barisan terdepan dalam memperjuangkan kelestarian lingkungan lewat komitmen dan langkah nyata menurunkan emisi karbon.
Presiden SBY, kata Rachmat Gobel, sudah berjanji menurunkan emisi karbon 26% pada 2020. Pemerintah berkomitmen mengurangi emisi gas rumah kaca (GRK) sebesar 26% dari tingkat business-as-usual pada 2020 lewat upaya sendiri dan 41% dengan bantuan luar.
Selama 2000-2010, sekitar 3,5 juta hektare hutan musnah. Tapi, saat ini, Indonesia semakin ketat mencegah kerusakan hutan.
Pada 2010, Indonesia juga menandatangani naskah perjanjian untuk menurunkan emisi karbon lewat program Reducing its Emissions from Deforestation and Forest Degradation (REDD+).
Program REDD+ adalah mekanisme global untuk memperlambat perubahan iklim dengan memberikan kompensasi kepada negara berkembang guna melindungi hutannya.
Selain itu, pada Mei 2011 pemerintah mengumumkan moratorium pembabatan baru perkebunan sawit. Kebijakan itu digariskan dalam Instruksi Presiden (Inpres) No 10 Tahun 2011 tentang Penundaan Pemberian Izin Baru (Moratorium) dan Penyempurnaan Tata Kelola Hutan Primer dan Lahan Gambut. Pada saat yang sama, pemerintah mengumumkan penanaman pohon. Hasilnya, dalam dua tahun terakhir ditanam 3,2 miliar pohon.
Kepala Negara juga memperkenalkan tagline pembangunan yang pro-growth, pro-job, pro-poor, and pro-environment.
Di sela Konferensi Tingkat Tinggi (KTT) Rio+20 di Brasil, belum lama ini, Presiden SBY juga mengusung isu pembangunan berkelanjutan disertai pemerataan (sustainable growth with equity) berlandaskan konsep ekonomi hijau atau ekonomi ramah lingkungan (green economy).
Kebijakan pemerintah yang secara prinsip sudah mengacu pada konsep Ekonomi Hijau antara lain pembatasan ekspor bahan tambang, green building di sektor properti, pembatasan emisi gas buang kendaraan bermotor, rencana tata ruang dan rencana tata wilayah (RTRW) ramah lingkungan, serta regulasi hutan tanaman industri (HTI) dan hak pengusahaan hutan (HPH) berbasis pelestarian hutan.
Peluang Bagi Pebisnis
Kendati belum ada insentif dari pemerintah, kata Rachmat Gobel, pihaknya terus mengembangkan produk ramah lingkungan sesuai visi Panasonic. Panasonic berkeyakinan, produk ramah lingkungan takkan bisa dielakkan pada masa mendatang.
Tuntutan terhadap kelestarian lingkungan semakin keras. Produk industri yang tidak ramah lingkungan akan ditinggalkan konsumen.
Pengalaman Panasonic menunjukkan bahwa pengembangan produk ramah lingkungan justru meningkatkan inovasi dan produktivitas perusahaan. Dari sisi konsumen, produk ramah lingkungan merupakan gaya hidup sehat.
"Manfaat inilah yang hendak kami tularkan kepada masyarakat," kata Rachmat Gobel, preskom PT Panasonic Gobel Indonesia yang juga ketua Masyarakat Energi Terbarukan Indonesia (METI).
Pada tahap awal, produk ramah lingkungan meningkatkan biaya produksi dan mahal bagi konsumen. Kondisi itu patut diperlakukan sebagai peluang oleh kalangan pebisnis. Perusahaan justru ditantang untuk mengubah ancaman menjadi peluang.
“Kalangan pebisnis tidak boleh diam, melainkan harus merespons dengan serius isu ini agar produknya diterima di pasar global," papar Rachmat.
Insentif pemerintah bagi perusahaan yang tengah melakukan penelitian dan inovasi adalah praktik yang lazim. Berbagai negara melakukan hal serupa. Tapi, untuk Indonesia, negeri dengan perangkat hukum yang tidak lengkap dan tumpang tindih, reformasi hukum harus dilakukan terlebih dahulu.
Itu sebabnya, demikian Rachmat, Yayasan Matsushita Gobel bekerja sama dengan Harvard Law School melakukan riset di bidang reformasi hukum, khususnya yang berkaitan dengan kelestarian lingkungan, pemanasan global, perubahan iklim, dan produk ramah lingkungan.
Setelah perangkat hukum beres, insentif yang diberikan pemerintah menjadi lebih jelas. Insentif yang diberikan pemerintah pun menjadi terarah, tidak merugikan negara.
"Kalau belum apa-apa sudah minta insentif, bisa jadi pengusaha nantinya dinilai hanya mencari fasilitas," ujar Rachmat.
Para pelaku bisnis, kata Rachmat Gobel, hendaknya tidak mendirikan perusahaan hanya untuk mengejar profit dan lapangan kerja semata. Para pelaku usaha harus memiliki visi besar, yakni membangun Indonesia dengan memproduksi berbagai produk berkualitas dan ramah lingkungan.
Sedangkan pemerintah diimbau lebih tegas terhadap produk impor ilegal tidak bermutu yang saat ini membanjiri pasar domestik. Semua produk dalam negeri maupun impor harus memenuhi standar nasional Indonesia (SNI).
Masyarakat Indonesia perlu diberikan pemahaman untuk tidak mengonsumsi produk hanya dengan pertimbangan harga semata. Produk murah dan tidak bermutu mendorong pola hidup boros dan pola konsum yang merusak lingkungan.
"Salah satu langkah konkret yang bisa segera dimulai oleh masyarakat adalah membuang sampah pada tempatnya, yakni pada kotak sampah organik, anorganik, serta kotak botol dan plastik," papar Rachmat.
Belum Jadi Gerakan
Walau kelestarian lingkungan sudah menjadi komitmen pemerintah serta isu pemanasan global (global warming) dan perubahan iklim (climate change) selalu dilontarkan Presiden, masyarakat belum melihat isu-isu itu sebagai sesuatu yang penting bagi mereka. Pemred Tempo Wahyu Muryadi melihat kondisi itu sebagai dampak dari minimnya sosialisasi.
Wahyu menilai kondisi itu sebagai dampak minimnya pemberitaan media massa. Paling tidak, isu lingkungan hampir tidak pernah menjadi berita utama Tempo.
"Isu lingkungan dan climate change bukan isu seksi. Isu ini kalah dibanding isu korupsi dan infotainment," ujar Wahyu.
Media massa, kata Pemred Kompas Rikard Bagun, perlu memberikan porsi memadai bagi berita dan opini tentang global warming dan climate change. Pihaknya sudah memberikan porsi yang cukup bagi isu lingkungan sejak dekade 1980-an.
Keterlibaan media massa sangat penting agar isu climate change tidak digunakan negara kompetitor bisnis untuk menghantam produk Indonesia.
Serangan terhadap sawit sebagai tanaman yang merusak lingkungan terjadi karena minimnya pemberitaan media nasional yang menjelaskan tentang sawit. "Isu buruk tentang sawit adalah isu persaingan bisnis," kata Rikard.
Uni Lubis menyoroti kelemahan para menteri Kabinet Indonesia Bersatu (KIB) II yang kurang gigih menyosialisasikan global warming dan climate change. Pemred ANTV ini menilai target pengurangan emisi hingga 26% pada 2020 terlalu ambisius.