*** MARI KITA SALING BERBAGI INFORMASI - MANFAATKAN MEDIA SEBAGAI SARANA EDUKASI - MAJULAH BANGSAKU - MAJULAH INDONESIAKU ***



Sunday, April 28, 2013

Indonesia Eksportir Hiu Terbesar Dunia

SEBAGAI predator puncak dalam rantai makanan, hiu memiliki peran yang sangat penting dalam menjaga kelestarian ekosistem. Sebuah ekosistem dapat berubah dan menurun tingkat produktivitasnya, bahkan dalam beberapa kasus dapat punah, jika kehilangan predator puncak.

Kenyataan akan pentingnya peran hiu rupanya belum menjadi kesadaran bersama masyarakat Indonesia. Pasalnya, Indonesia yang kaya akan biota laut justru kini menjadi eksportir hiu terbesar yang menyumbang 100 ribu ton per tahun ke pasar internasional. Tragisnya, hal ini terjadi sejak 13 tahun silam.

"Dengan tingkat tekanan terhadap perburuan yang sangat tinggi tersebut, populasi hiu di Indonesia pun kini berada di ujung tanduk," ujar Senior Advisor Indonesia Marine Program Conservation International Indonesia, Mark V Erdmann, dalam Simposium Nasional Perlindungan Hiu, di Jakarta, Selasa (19/3).

Peran Indonesia sebagai eksportir terbesar hiu secara tidak langsung telah menyumbang penurunan populasi secara global sebesar 90-99 persen sejak 50 tahun lalu. "Akibat pemancingan dan dan permintaan sup sirip hiu yang terus menerus, setidaknya 73 juta hiu dibunuh tiap tahunnya," ungkap Mark.

Situasi tersebut sejalan dengan apa yang terjadi di beberapa wilayah Indonesia di mana proses penangkapan hiu dilakukan secara terang-terangan oleh masyarakat. Misal, kata Mark, di daerah Lombok, Nusa Tenggara Barat, untuk dapat menangkap hiu masyarakat menggunakan lumba-lumba dan penyu sebagai umpan.

Caranya, di tengah laut nelayan menangkap lumba-lumba kemudian langsung memotongnya agar hiu terpancing dengan darah dari lumba-lumba. Lumba-lumba yang dilukai itu lalu dibuang begitu saja, dibiarkan mati. "Begitu juga dengan penyu, bagian tubuh yang diambil untuk umpan hanya hatinya saja," papar Mark.

Namun demikian, sambung Mark, ia optimis dengan sosialisasi pentingnya peran hiu ditambah dukungan regulasi dari pemerintah, angka penangkapan hiu akan dapat menurun secara signifikan. "Saya kira dalam 5 tahun ke depan industri hiu ini akan menurun drastis," tandas Mark.

Untuk mendukung pelestarian hiu, pemerintah akan memperketat penangkapannya karena hiu masuk dalam Appendix II "Convention on International Trade in Endangered Species" (CITES) 2013. Bentuk komitmen itu, kata Menteri  Kelautan dan Perikanan Sharif C. Sutardjo, dengan segera mengeluarkan Peraturan Menteri Kelautan Perikanan.

Pengetatan pengelolaan hiu ini penting mengingat keberadaan predator puncak tersebut sangat penting untuk menjaga ekosistem laut. Apalagi, jumlah spesiesnya telah mengalami penurunan lebih dari 75 persen, bahkan untuk jenis tertentu mencapai 90 persen atau lebih.

Tuesday, February 19, 2013

Produk Ramah Lingkungan, Dorong Pertumbuhan Ekonomi

[WASHINGTON] Upaya memproduksi berbagai produk ramah lingkungan harus menjadi gerakan nasional. Para pelaku bisnis di Indonesia tidak perlu ragu  mengimplementasikan  green industry karena manfaat ekonominya  akan sangat besar.

Sedangkan  masyarakat diharapkan mengubah pola  hidup boros energi dan mulai menggunakan produk ramah lingkungan kendati lebih mahal.  

"Produk ramah lingkungan akan lebih mudah menembus pasar ekspor. Kita akan mendapatkan banyak manfaat jika kita lebih awal go green," kata Pembina Yayasan Matsushita Gobel Rachmat Gobel pada acara diskusi bertopik  “Cara Indonesia dalam Menyikapi Perubahan Iklim” yang  digelar Center for Strategic and International Studies (CSIS)  di Washington DC, Amerika Serikat (AS), Selasa (22/10).  

Wartawan SP Primus Dorimulu melaporkan dari Washington DC, selain pembicara utama, Pembina  Yayasan Matsushita Rachmat Gobel,  acara yang dipandu Senior Advisor & Director CSIS Ernest Z Bower itu  menghadirkan tiga jurnalis senior dari Indonesia, yakni Pemimpin Redaksi (Pemred)  Tempo Wahyu Muryadi, Pemred Kompas Rikard Bagun, dan Pemred ANTV Uni Lubis.  

Pemanasan global dan perubahan iklim, kata  Ernst Z Bower,  merupakan tantangan paling besar  dunia saat ini. 

Pemerintah dan para pebisnis harus bekerja sama mengatasi ancaman ini lewat berbagai upaya, termasuk inovasi produk. Ahli Asia Tenggara dari CSIS itu memuji komitmen Rachmat Gobel yang sudah berani memproduksi produk ramah lingkungan meski belum ada insentif dari pemerintah. 

Ia juga memberikan apresiasi kepada Presiden Susilo Bambang Yudhoyono (SBY)  yang selalu berada di barisan terdepan dalam memperjuangkan kelestarian lingkungan lewat komitmen dan langkah nyata menurunkan emisi karbon.  

Presiden SBY, kata Rachmat Gobel,  sudah berjanji menurunkan emisi karbon 26% pada  2020.   Pemerintah berkomitmen  mengurangi emisi gas rumah kaca (GRK) sebesar 26% dari tingkat business-as-usual pada  2020 lewat  upaya  sendiri dan 41% dengan bantuan luar.

Selama 2000-2010, sekitar 3,5 juta hektare hutan musnah.  Tapi, saat ini, Indonesia semakin ketat mencegah kerusakan hutan.  

Pada 2010, Indonesia juga menandatangani naskah perjanjian untuk menurunkan emisi karbon lewat program  Reducing its Emissions from Deforestation and Forest Degradation  (REDD+). 

Program REDD+ adalah mekanisme global  untuk memperlambat perubahan iklim dengan memberikan kompensasi kepada negara berkembang  guna melindungi hutannya.    

Selain itu,  pada Mei 2011 pemerintah mengumumkan moratorium pembabatan  baru   perkebunan sawit.  Kebijakan itu  digariskan  dalam  Instruksi Presiden (Inpres)   No 10  Tahun 2011 tentang Penundaan Pemberian Izin Baru (Moratorium) dan Penyempurnaan Tata Kelola Hutan Primer dan Lahan Gambut. Pada saat yang sama, pemerintah mengumumkan penanaman pohon. Hasilnya, dalam dua  tahun terakhir ditanam 3,2 miliar pohon.    

Kepala Negara juga memperkenalkan tagline pembangunan yang pro-growth, pro-job, pro-poor, and pro-environment.  

Di sela    Konferensi Tingkat Tinggi (KTT) Rio+20  di Brasil,  belum lama ini, Presiden  SBY  juga mengusung isu  pembangunan berkelanjutan disertai pemerataan (sustainable growth with equity) berlandaskan  konsep ekonomi hijau atau ekonomi ramah lingkungan (green economy).

Kebijakan  pemerintah  yang secara prinsip sudah mengacu  pada konsep Ekonomi Hijau antara lain  pembatasan ekspor bahan tambang,  green building di sektor properti, pembatasan emisi gas buang kendaraan bermotor,  rencana tata ruang dan rencana tata wilayah (RTRW)  ramah lingkungan,  serta regulasi hutan tanaman industri (HTI) dan hak pengusahaan hutan (HPH) berbasis pelestarian hutan.

Peluang Bagi Pebisnis


Kendati  belum ada insentif dari pemerintah, kata Rachmat Gobel, pihaknya terus mengembangkan produk ramah lingkungan sesuai visi Panasonic. Panasonic berkeyakinan, produk ramah lingkungan takkan bisa dielakkan pada masa mendatang. 

Tuntutan terhadap kelestarian lingkungan semakin keras.  Produk industri yang tidak ramah lingkungan akan ditinggalkan konsumen.  

Pengalaman Panasonic  menunjukkan bahwa pengembangan produk ramah lingkungan justru meningkatkan inovasi dan produktivitas perusahaan.  Dari sisi konsumen, produk ramah lingkungan merupakan gaya hidup sehat.

"Manfaat inilah yang hendak kami tularkan kepada masyarakat," kata Rachmat Gobel,  preskom PT Panasonic Gobel Indonesia  yang  juga   ketua  Masyarakat Energi Terbarukan Indonesia (METI).  

Pada tahap awal, produk ramah lingkungan meningkatkan biaya produksi dan mahal bagi konsumen. Kondisi  itu patut diperlakukan sebagai peluang oleh kalangan pebisnis. Perusahaan justru ditantang untuk mengubah ancaman menjadi peluang.

“Kalangan pebisnis  tidak boleh diam, melainkan harus merespons dengan serius isu ini agar produknya diterima di pasar global,"  papar Rachmat.  

Insentif  pemerintah bagi perusahaan yang tengah melakukan penelitian dan inovasi  adalah praktik yang lazim. Berbagai negara  melakukan hal serupa. Tapi, untuk Indonesia, negeri dengan perangkat hukum yang tidak lengkap dan tumpang tindih, reformasi hukum harus dilakukan terlebih dahulu.

Itu sebabnya, demikian Rachmat, Yayasan Matsushita Gobel bekerja sama dengan  Harvard  Law School melakukan riset di bidang reformasi hukum, khususnya yang berkaitan dengan kelestarian lingkungan, pemanasan global, perubahan iklim, dan produk ramah lingkungan.  

Setelah perangkat hukum beres, insentif yang diberikan pemerintah menjadi lebih jelas. Insentif yang diberikan pemerintah pun menjadi terarah, tidak merugikan negara.

"Kalau belum apa-apa sudah minta insentif, bisa jadi pengusaha nantinya dinilai hanya mencari fasilitas," ujar Rachmat.  

Para pelaku bisnis, kata Rachmat Gobel, hendaknya tidak mendirikan perusahaan hanya untuk mengejar profit dan lapangan kerja semata. Para pelaku usaha harus memiliki visi besar, yakni membangun Indonesia dengan memproduksi berbagai produk berkualitas dan ramah lingkungan.  

Sedangkan  pemerintah diimbau lebih tegas terhadap produk impor ilegal tidak  bermutu yang saat ini membanjiri pasar domestik.  Semua produk dalam negeri maupun impor harus memenuhi standar nasional Indonesia (SNI).  

Masyarakat Indonesia perlu diberikan pemahaman untuk tidak mengonsumsi produk hanya dengan pertimbangan harga semata. Produk murah dan tidak bermutu mendorong pola hidup boros dan pola konsum yang merusak lingkungan.  

"Salah satu langkah konkret yang bisa segera dimulai oleh masyarakat adalah membuang sampah pada tempatnya, yakni pada kotak sampah organik,  anorganik,  serta kotak botol dan plastik," papar Rachmat.  

Belum Jadi Gerakan
 

Walau kelestarian lingkungan sudah menjadi komitmen pemerintah  serta isu  pemanasan global (global warming) dan perubahan iklim (climate change) selalu dilontarkan  Presiden, masyarakat belum melihat isu-isu itu sebagai sesuatu yang penting bagi mereka. Pemred Tempo Wahyu Muryadi melihat kondisi itu sebagai dampak dari minimnya sosialisasi.  

Wahyu menilai  kondisi itu sebagai dampak  minimnya pemberitaan media massa.  Paling tidak, isu lingkungan hampir tidak pernah menjadi berita utama Tempo.

"Isu lingkungan dan climate change bukan isu seksi. Isu ini  kalah dibanding isu korupsi dan infotainment,"  ujar Wahyu.  

Media massa, kata Pemred Kompas Rikard Bagun, perlu memberikan porsi memadai bagi berita dan opini tentang global warming  dan climate change. Pihaknya sudah memberikan porsi yang cukup bagi isu lingkungan sejak dekade 1980-an.

Keterlibaan media massa sangat penting agar isu climate change tidak digunakan negara kompetitor bisnis untuk menghantam produk Indonesia.  

Serangan terhadap sawit sebagai tanaman yang merusak lingkungan terjadi karena minimnya pemberitaan media nasional yang menjelaskan tentang sawit.  "Isu buruk tentang sawit adalah isu persaingan bisnis," kata Rikard.  

Uni Lubis menyoroti kelemahan para menteri Kabinet Indonesia Bersatu  (KIB) II  yang kurang gigih menyosialisasikan global warming dan climate change.  Pemred ANTV ini  menilai target pengurangan emisi hingga 26%  pada 2020 terlalu ambisius.

Thursday, January 17, 2013

Apindo Minta Pemerintah Selesaikan Masalah Banjir

Jakarta (ANTARA) - Asosiasi Pengusaha Indonesia meminta pemerintah pusat serius menyelesaikan masalah banjir yang kerap melanda Ibu Kota Jakarta agar tidak berdampak pada kegiatan investasi di Tanah Air.
"Jakarta merupakan salah satu etalase Indonesia. Penanganan dampak banjir dan penanggulangannya ke depan harus menjadi prioritas pemerintah, agar citra Indonesia tidak terpuruk di mata investor," kata Ketua Apindo Sofjan Wanandi ketika dihubungi ANTARA di Jakarta, Jumat.
Menurut Sofjan, persoalan banjir seharusnya tidak lagi menjadi kendala karena sudah berulangkali terjadi dan selalu memberi dampak yang sudah terukur yaitu lumpuhnya perekonomian di DKI Jakarta.
Akan tetapi setiap kali terjadi banjir besar, saat itu pula kembali sadar bahwa penanganan yang berkelanjutan harus menjadi yang utama.
"Banjir yang melanda Ibu Kota Negara menjadi pukulan besar bagi ekonomi karena di samping menjadi jantung ekonomi juga menjadi pusat pemerintahan," tegas Sofjan.
Banjir yang melanda Jakarta sejak Rabu (16/1) telah mengakibatkan sebagian besar ekonomi lumpuh, seperti infrastruktur jalan terganggu, layanan transportasi terhenti, beberapa pusat bisnis berhenti, selain juga memaksa puluhan ribu penduduk mengungsi.
Sofjan yang juga Aktivis `66 ini menuturkan, peristiwa banjir seperti ini tentunya menjadi sorotan dunia.
Dampak langsungnya sudah terlihat saat Presiden Susilo Bambang Yudhoyono di Istana Negara, Kamis (17/1) menerima kunjungan Presiden Argentina Cristina Fernandez de Kirchner.
Sebagai mitra dagang, Cristina mengikutsertakan 71 delegasi dan sebanyak 230 pengusaha Argentina.
"Meski kedua kepala negara sepakat untuk meningkatkan hubungan bilateral kedua negara namun pada pelaksanaanya tetap tergantung pada situasi atau kondisi di lapangan, misalnya iklim investasi maupun infrastruktur yang mendukung kegiatan perekonomian," ujar Sofjan.
Ia menambahkan, pada triwulan III 2012, DKI Jakarta masih menduduki porsi investasi asing (PMA) terbesar di Tanah Air yang mencapai 19 persen, disusul Jawa Barat dengan porsi 16,2 persen, Kalimantan Timur 11,5 persen, Sulawesi Tengah 10,1 persen, dan Riau dengan porsi 9,3 persen.
"DKI Jakarta sebagai tujuan investasi terbesar, tercermin dari posisinya sebagai ibu kota pemerintahan yang menjadi pusat perekonomian dan ditopang tingginya sektor layanan jasa, seperti distribusi dan perdagangan barang," kata Sofjan.
Lumpuh

Terkait dengan ekonomi yang relatif lumpuh di DKI Jakarta dalam dua hari ini, Sofjan menuturkan dipicu oleh terhentinya sejumlah aktivitas seperti perkantoran, industri, perdagangan, dan kegiatan produksi di sejumlah lokasi.
Di sepanjang Thamrin, Sudirman, Kuningan saja diutarakan Sofjan, berapa besar kerugian yang dialami jasa perhotelan, belum lagi perbankan, perusahaan pembiayaan.
Ia menambahkan dengan terganggunya kegiatan produksi, distribusi barang dan jasa maka otomatis juga berdampak pada transaksi keuangan.
Sofjan yang juga menjadi pengurus Kadin Indonesia ini juga menginformasikan dampak banjir tersebut juga menganggu bisnis di kawasan Jakarta Industrial Estate Pulogadung (JIEP).
"Saya dapat informasi bahwa dari sekitar 375 pabrik di JIEP lebih dari setengahnya terpaksa tutup karena buruhnya tidak masuk," ujarnya.
Ia menggambarkan, jika setiap satu pabrik saja omset per hari sekitar Rp1 miliar, maka diperkirakan terjadi potensi rugi sekitar Rp150 miliar per hari.
"Belum lagi di kawasan lain seperti Kawasan Berikat Nusantara (KBN) dan kegiatan ekspor impor di Tanjung Priok," ujarnya.(tp)